Selasa, 16 Agustus 2011

ksatria dayak


Panglima Burung

Burung EnggangDalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah panglima perang Dayak, Panglima Burung, yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman.
Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok ini, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.

Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.
Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang. Riuh rendah tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkup–yang oleh orang Dayak Ngaju disebut Danum Kaharingan Belum.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya–entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan lain-lain–tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak

sIlsilah Dayak tunjung(Tonyooi)

a. Sejarah
Tidak ada data tertulis tentang asal usul Suku Dayak Tunjung ini. Kita dapat mengetahui asal usul mereka hanya dari cerita-cerita rakyat dari orang-orang tua yang didapat secara turun temurun. Konon menurut cerita Suku Dayak Tunjung ini berasal dari dewa-dewa yang menjelma menjadi manusia untuk memperbaiki dunia yang sudah rusak yang terkenal dengan sebutan “Jaruk’ng Tempuq”. Jaruk’ng adalah nama dewa yang menjadi manusia dan Nempuuq atau Tempuuq berarti terbang.
Nama suku Dayak Tunjung ini menurut mereka adalah Tonyooi Risitn Tunjung Bangkaas Malikng Panguruu Ulak Alas yang artinya Suku Tunjung adalah paahlawan yang berfungsi sebagai dewa pelindung. Nama asli suku Tunjung ini adalah Tonyooi. Sedangkan kata Tunjung sendiri dalam bahasa dayak Tunjung adalah “Mudik” atau menuju arah hulu sungai. Ceritanya demikian. Pada suatu hari Seorang Tonyooi Mudik dan bertemu dengan orang Haloq (Sebutan Suku Dayak kepada seseorang yang bukan dayak dan beragama Muslim) kemudian Haloq tersebut bertanya pada Tonyooi ingin pergi kemna, kemudian si Tonyooi Menjawab “Tuncuuk’ng”, maksudnya mudik. Orang Haloq lalu terbiasa melihat orang yang seperti ditanyainya tadi disebut “Tunjung” dan hingga sekarang namanya tersebut masih dipergunakan.
b. Penyebaran
Sesuai dengan ceritalegenda dayak kubar, Sualas Gunaaq (keturunan tunjung) menjadi Raja ke II Kerajaan Sentawar dimana keturunan Suku Tunjung diamni., sebelumnya ayahnya yang bernama Tulur Aji Jangkat.  Tetapi karena Tekanan Kerajaan KUtai Kertanegara serta larangan pemerintah Belanda tentang kebiasaan (adat) mereka mengayau (memotong kepala), lalu suku Dayak Tunjung ini berpindah dan menyebar kepedalaman atau tempat yang berjauhan satu sama lainnya. Akibat penyebaran itu terjadilah sedikit perbedaan logat bahasa dan wujud kebudayaan, tetapi tidak begitu mendasar. Akibat penyebaran ini sehingga terjadi berbagai macam jenis yaitu:
  1. Tunjung Bubut, mereka mendiami daerah Asa, Juhan Asa, baloq Asa, Pepas Asa, Juaq Asa, Muara Asa, Ongko Asa, Ombau Asa, Ngenyan Asa, Gemuhan Asa, Kelumpang dan sekitarnya.
  2. Tunjung Asli, Mendiami daerah Geleo (baru dan Lama)
  3. Tunjung Bahau, Mendiami Barong Tongkok, Sekolaq Darat, Sekolaq Muliaq, Sekolaq Oday, Sekolaq Joleq dan sekitarnya.
  4. Tunjung Hilir, mendiami wilayah Empas, Empakuq, Bunyut, Kuangan dan sekitarnya.
  5. Tunjung Lonokng, mendiami daerah seberang Mahakam yaitu Gemuruh, Sekong Rotoq, Sakaq Tada, Gadur dan sekitarnya.
  6. Tunjung Linggang, mendiami didaerah dataran Linggang seperti Linggang Bigung, Linggang Melapeh, Linggang Amer, Linggang Mapan, Linggang Kebut, Linggang Marimun, Muara Leban, Muara Mujan, Tering, Jelemuq, lakan bilem, into lingau, muara batuq dan wilayah sekitarnya.
  7. Tunjung Berambai, mendiami Wilayah hilir sungai Mahakam seperti Muara Pahu, Abit, Selais, Muara Jawaq, Kota Bangun, Enggelam, Lamin Telihan, Kembang janggut, Kelekat, dan Pulau Pinang.
c. Sistem Kekerabatan
Prinsif kekerabatan yang dianut oleh suku dayak tunjung ialah prinsif bilateral, yang menghitung system kekerabatan dari pihak pria maupun wanita. Setiap individu termasuk dalam kekerabatan ayah dan ibunya, anak-anaknya mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap keluarga pihak ibu maupun ayah.
Kelompk kekerabatan suku dayak tunjung terikat oleh hubungan kekerabatan yang disebut Purus.. purus dihitung berdasarkan hubungan darah dan hubungan yang timbul melalui perkawinan. Kelompok kekerabatn yang diperhitungkan melalui purus disebut batak. Individu yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dalam suatu kelompok disebut sebatak (batak tai) dan yang bukan disebut batak ulunt.
Perkembangan desa yang berasal dari sebuah rumah panjang (Luu) masih tetap mengikat penduduk menjadi suatu komunitas desa. Pada masyrakat dayak Tunjung juga terdapat pelapisan social yang dibedakan dengan tajam sekali ketika susunan pemerintahan desa adat (jaman lamin kuno) masih berlaku. Hilangmya pelapisan social adalah pengaruh masuknya pemerintah belanda kedaerah tempat orang-orang dayak bermukim. System perbudakan yang ada dihapuskan bersamaan dengan pelarangan potong kepala (mengayau) yang dalam bahasa tunjung disebut balaaq. susunan pelapisan social masyarakat tunjung pada jaman dulu adala:
  1. Hajiiq (Golongan Bangsawan), mereka terdiri dari raja beserta keturunannya, pemengkawaaq (pengawal raja) dan mantik tatau ( bawahan pemengkawaaq yang berhubungan langsung dengan rakyat) dengan semua keturunanya.
  2. Merentikaq merentawi disingkat merentikaq (golongan merdeka atau golongan biasa) mereka tidak termasuk golongan hajiq ataugolongan hamba sahaya. Golongan merentikaaq ini mempunyai hak untuk menarikan Tarian Calant caruuq, karena mereka keturunan asli dari Sengkereaq.
  3. Ripat (hamba sahaya), golongan ini mengabdikan diri pada Golongsn hajiiq.
d. Sistem Religi
Agama asli suku dayak tunjung adalah Animisme, mereka percaya kepada roh-roh, yaitu roh yang baik dapap memberikan perlindungan dan keselamatan sedangkan roh jahat suka menggangu manusia. Roh jahat terkadang dijadikan sahabat. Pandangan mereka bila roh jahat itu telah menjadi sahabat, maka roh tersebut dapat disuruh untuk membinasakan lawannya. (Black Magic). Orang yang dapat berhubungan dengan para roh disebut belian (Dukun Pawang) dan menjadi pemimpin upacara-upacara tradisional suku dayak tunjung. Dalam melaksanakan upacara adat, pemeliatn menggunakan pakain (yurk) tampa memakai baju. Warna pakaian (yurk) ini adalah putih yang dbuat dari kain koplin atau belacu yang dihiasi dengan kain warna warni (merah, biri, hitam, kuning, hijau) berbentuk garis-garis dan daun-daun. Patung belontang digunakan dalam upacara buang bangkai (kwangkai) berbentuk seorang manusia dan ada pula patung yang digunakan untuk pelas desa (bersih desa) berbentuk tiang (tonggak) yang diukir berbentuk guci terdapat ukiran berbentuk bunga teratai. Rata-rata tinggi patung sekitar 1 meter stngah dan diameternya kurang lebih 30 cm. Suku dayak tunjung mengenal beberapa macam roh jahat atau yang disebut nayu: a. Nayu Ramoy Nalok, yaitu roh jaha yang haus akan darah. Roh ini dijadikan sahabat unutk mendapatkan kekuatan. b. Juata Nayu,yaitu roh buaya yang digunakan untuk membalas dendam. c. Bintuhn Molu (hantu banci) roh yang selalu iri dengaki dengan kaum ibu-ibu yang melahirkan. Roh ini dapat membinasakan bayi dan ibunya. d. Nayu Mulang yaitu roh musuh yang suka mengayau. Bila roh ini menampakan dirinya maka berarti aka nada malapetaka atau bahaya.